Sabtu, 14 Mei 2016

Menyapa Politik

Politik jangan ditafsir keliru. Saat manusia mulai belajar ’bersiasat’ dalam hidup, maka politik telah melekat dalam dirinya. Semua pihak harus menjernihkan penafsiran yang membantu bangsa ini mampu melihat politik dalam seluruh relasi, tapi juga bisa memberi batas perbedaan antara sejarah politik, partai politik, aktifis partai, politisi parlemen, dan kebijakan politik. Rakyat Indonesia sudah miskin, jangan lagi ditambahi dengan kebodohan. Miskin dan tidak berpengetahuan, pasti melahirkan dua hal: selalu salah kaprah dan mudah dijebak zaman dan ujung-ujungnya pasti "Baper"

Politik adalah panglima. Seluruh sistem ketatanegaraan kita, harus berdiri diatas politik yang berdaulat dan bertanggung-jawab atas penghidupan rakyat. Politik ini bergerak dimedan sosial, ekonomi, kebudayaan, pengetahuan, dan pertahanan-keamanan. Konsensus politik nasional lalu dituangkan menjadi aturan kolektif: Konstitusi Negara. Undang-Undang Dasar 1945 adalah fondasi hukum nasional sekaligus panduan hukum tertinggi. Keputusan politik eksekutif dan legislatif (MPR/DPR) hingga Peraturan Daerah(PERDA), tak boleh ingkar sedikitpun.

Orde lama memberi pelajaran tentang pentingnya satu gagasan politik luar negeri (regional dan internasional). Saat ini, Indonesia belajar banyak atas peta global dan bagaimana cara menjadi pelopor/konsolidator perjuangan bangsa-bangsa pasca-kolonial. Sayang, mekanisme politik dalam negeri tak secanggih politik luar negeri. Pemerintah akhirnya kelelahan sendiri menghadapi pertentangan politik antar faksi dan golongan politik nasional. Saat bersamaan, badai perang dingin antara blok barat(AS) dan blok timur(Uni Soviet) makin meningkat. Ideologi ini tumbang, dengan biaya sosial sangat mahal dan jutaan rakyat jadi korban.

Soeharto naik ke tampuk kekuasaan, setelah berhasil memanfaatkan situasi. Orde Baru dimulai, seluruh instrumen pendukung NASAKOM (ideologi politik utama Soekarno), dikunci dipinggir panggung politik nasional. Bahkan ditahun 1974, ia menetapkan kebijakan Fusi Partai dengan mengebiri partai politik menjadi dua arus besar: Partai Islam berkumpul di PPP (Partai Persatuan Pembangunan) dan Partai Nasionalis di PDI (Partai Demokrasi Indonesia). Lalu Pemerintah sendiri punya kaki politik yaitu: GOLKAR (Golongan Karya). Dengan cara ini, rezim Soeharto bisa bertahan lama.

Karena faktor pesanan politik Blok Barat, maka Soeharto sibuk dengan politik dalam negeri. Semua yang tidak sesuai dengan pikiran dan keinginan pemerintah akan dihancurkan. Bermacam-macam judul dilekatkan sebagai label ekstrim kiri (komunis/sosialis), ekstrim kanan (fundamentalis), dan OTB (Organisasi Tanpa Bentuk). Ini fakta politik yang telah menjadi bagian tak terpisah dari sejarah politik Indonesia. Soeharto tak sepopuler Soekarno dilevel Internasional, karena rezim Orde Baru lebih sibuk mematai-matai dan berkonfrontasi dengan rakyatnya sendiri. Perang Dingin berakhir, maka berakhir pula kekuasaan Soeharto.

Siapapun pasti akan merasa lelah dengan proses jatuh bangun kekuasaan politik di Indonesia. Saat orang mulai lelah dengan Soeharto, rakyat rindu pemimpin seperti Bung Karno. Ketika gerak Reformasi makin suram, entah mengapa rakyat justru "kangen" dengan Soeharto. Bangsa kita cenderung tidak tahan melakoni satu cita-cita perubahan kearah hidup yang lebih baik. Terlalu mudah putus asa. Lalu menyerah dalam jebakan ”romantisasi” atas masa lalu. Politik ideal tidak dibangun dalam jangkauan pergerakan, tapi hanya menjadi permainan ingatan dan imajinasi kosong.

Dalam konteks psiko-sejarah oleh Inka Ratna Dewi, bangsa kita dipenuhi beban traumatis masa lalu yang berjejal memenuhi ruang batin masyarakat. Berakibat pada dua hal: Ketakutan terlibat dalam politik praktis/formal atau bergerak dalam berbagai sektor dan alur politik  atas nama dendam sejarah. Fenomena pertama hadir karena ’ketakutan’ jatuh dalam perangkap depresi negara. Sedang soal kelompok sosial-politik yang mengorganisasi diri karena dendam sejarah menunjukkan motif beragam. Mulai dari keinginan mencapai kemenangan politik ideologis, hingga sekadar untuk merebut tafsir kebenaran pengetahuan dan kebudayaan.

Dalam kondisi kekinian bangsa ini masih juga belum mampu "move on" dari romansa masa lalu, figur pemimpin yang muncul menokohkan dirinya pun mencoba tampil dengan menyerap sisa-sisa aura yang diwariskan oleh pemimpin di masa lalu. Suimran Syahir seorang praktisi hukum menyebutkan Indonesia harus bersabar menunggu pemimpin yang hadir bukan hanya menandatangani aturan semata, tetapi ia hadir untuk menyampaikan dan mewujudkan pesan yaitu janji dan cita-cita masa lalu yang belum sempat dikecap oleh bangsa ini.
 
Sebagai negara, bangsa ini belum berani untuk menentukan prinsipnya sedangkan sudah sangat jelas termaktub dalam konstitusi negara ini. Bangsa ini belum mampu membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik dimana seharusnya sudah cukup khatam dengan melihat usia dan pergolakan politiknya di masa lalu. Ilmu pengetahuan dan progres yang diharapkan mampu membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik justru sibuk berkamuflase dengan "intimidasi" politik internasional yang semakin keras, bangsa ini harus mampu membendung intervensi dunia jika ingin mewujudkan sebuah kedaulatan.
 
Pemuda dalam hal ini sebagai representasi perubahan harus membiasakan diri terlibat dalam setiap fenomena sosial yang terjadi dan berusaha untuk selalu menetralisir dirinya dalam arus propaganda teknologi/global yang  semakin deras. Jika tidak, bangsa ini akan semakin larut dalam hegemoni internasional yang sudah sangat nyata mengincar aset dan kekayaan alam bangsa ini. Oleh karena itu, marilah kita semua sebagai "Pemuda" yang dimaksud diatas menjadi pelopor untuk sebuah perubahan, saling memahami bahwa bangsa ini hadir sebagai pelindung kita semua, yang membawa kita ke arah kehidupan yang lebih baik.

Makassar, 15 Mei 2016
Makateks Institute, Zulkifli Pacinnai



Tidak ada komentar:

Posting Komentar